Jakarta (ANTARA News) - Kotak persegi panjang berwarna biru kehijauan berdimensi 10x10x10 cm itu bukan benda biasa. Benda bernama"D'Box CC itu adalah detektor kemurnian udara yang sukses mengharumkan nama Indonesia di ajang International Exhibiton for Young Inventors (IEYI) di Cina, Juli lalu.
Aan Arian Nanda (17) dan Feriawan Tan (17), siswa-siswa asal SMA 1 Tarakan, Kalimantan Utara, penemu detektor itu mengaku terinspirasi dari kebakaran hutan yang melanda Kalimantan di tahun 2015.
"Alat kami berawal dari bencana kabut asap di Tarakan di Desember 2015. Kami membuat alat yang mendeteksi konsentrasi gas CO dan CO2," ujar Aan kepada media di Jakarta, belum lama ini.
Berangkat dari alasan itu, duo pemuda ini sejak November 2015 hingga Mei 2016, bersama guru pembimbing di sekolahnya merancang alat pendeteksi kelayakan udara yang sederhana dengan biaya seminimal mungkin.
"Pembuatannya sekitar enam bulan. Dari bulan November 2015 sampai Mei 2016. Tahap yang lama itu melakukan riset, mencari komponen. Lalu untuk menentukan sensor apa yang digunakan. Sementara untuk alat sendiri kami butuh waktu tiga hari untuk lembur," tutur Feri.
Sejumlah komponen yang mereka gunakan antara lain fan (kipas) untuk mengatur keluar masuk udara, baterai, LCD, lampu LED, kabel USB, speaker kecil dan komponen lainnya.
Selain itu, mereka juga membuat aplikasi yang berfungsi menampilkan analisis kelayakan udara secara realtime dalam bentuk grafik, yang diakses melalui komputer.
Kepada ANTARA News, Feri menjelaskan cara kerja "D'Box CC". "Ini adalah fanyang berfungsi untuk mengkompresi udara. Di dalam (belakang) fan ada sensor yang membaca data kandungan CO dan CO2 di udara," kata dia.
"Setelah membaca data, sensor mengirimkan data ke mikro, sebagai otaknya atau prosessornya lah. Dari otaknya itu mengirim data ke sistem. Sistemnya itu ada LED indikator dan layar LED untuk menampilkan data. Ketika menggunakan kabel USB, di sini ada aplikasinya. Jadi, data dikirimkan ke aplikasi," imbuh Feri.
Kemudian, bila kadar CO2 di udara melebihi batas normal (lebih dari 500 ppm) dan CO (12,4 ppm), maka akan ada suara peringatan melalui speaker.
Feri mengatakan, menghabiskan biaya sekitar Rp 529 ribu untuk menciptakan alat ini. Kendati begitu, dia berharap nantinya D'Box CC bisa diproduksi massal, sehingga harga jualnya bisa lebih murah.
"Ke depannya kami ingin alat ini diproduksi massal sehingga harganya bisa lebih murah. Kami juga ingin bisa berguna untuk orang banyak," kata Aan.
D'Box CC beberapa waktu juga meraih penghargaan dari Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan saat ini sedang dalam pengembangan serta untuk mendapatkan hak paten.
"Kami nantinya ingin alat ini lebih muda dibawa, wireless dan bisa diakses melalui aplikasi mobile," ujar Feri.
Link Youtube: https://youtu.be/uqvWs9eZsVU
Aan Arian Nanda (17) dan Feriawan Tan (17), siswa-siswa asal SMA 1 Tarakan, Kalimantan Utara, penemu detektor itu mengaku terinspirasi dari kebakaran hutan yang melanda Kalimantan di tahun 2015.
"Alat kami berawal dari bencana kabut asap di Tarakan di Desember 2015. Kami membuat alat yang mendeteksi konsentrasi gas CO dan CO2," ujar Aan kepada media di Jakarta, belum lama ini.
Berangkat dari alasan itu, duo pemuda ini sejak November 2015 hingga Mei 2016, bersama guru pembimbing di sekolahnya merancang alat pendeteksi kelayakan udara yang sederhana dengan biaya seminimal mungkin.
"Pembuatannya sekitar enam bulan. Dari bulan November 2015 sampai Mei 2016. Tahap yang lama itu melakukan riset, mencari komponen. Lalu untuk menentukan sensor apa yang digunakan. Sementara untuk alat sendiri kami butuh waktu tiga hari untuk lembur," tutur Feri.
Sejumlah komponen yang mereka gunakan antara lain fan (kipas) untuk mengatur keluar masuk udara, baterai, LCD, lampu LED, kabel USB, speaker kecil dan komponen lainnya.
Selain itu, mereka juga membuat aplikasi yang berfungsi menampilkan analisis kelayakan udara secara realtime dalam bentuk grafik, yang diakses melalui komputer.
Kepada ANTARA News, Feri menjelaskan cara kerja "D'Box CC". "Ini adalah fanyang berfungsi untuk mengkompresi udara. Di dalam (belakang) fan ada sensor yang membaca data kandungan CO dan CO2 di udara," kata dia.
"Setelah membaca data, sensor mengirimkan data ke mikro, sebagai otaknya atau prosessornya lah. Dari otaknya itu mengirim data ke sistem. Sistemnya itu ada LED indikator dan layar LED untuk menampilkan data. Ketika menggunakan kabel USB, di sini ada aplikasinya. Jadi, data dikirimkan ke aplikasi," imbuh Feri.
Kemudian, bila kadar CO2 di udara melebihi batas normal (lebih dari 500 ppm) dan CO (12,4 ppm), maka akan ada suara peringatan melalui speaker.
Feri mengatakan, menghabiskan biaya sekitar Rp 529 ribu untuk menciptakan alat ini. Kendati begitu, dia berharap nantinya D'Box CC bisa diproduksi massal, sehingga harga jualnya bisa lebih murah.
"Ke depannya kami ingin alat ini diproduksi massal sehingga harganya bisa lebih murah. Kami juga ingin bisa berguna untuk orang banyak," kata Aan.
D'Box CC beberapa waktu juga meraih penghargaan dari Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan saat ini sedang dalam pengembangan serta untuk mendapatkan hak paten.
"Kami nantinya ingin alat ini lebih muda dibawa, wireless dan bisa diakses melalui aplikasi mobile," ujar Feri.
Link Youtube: https://youtu.be/uqvWs9eZsVU
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 comments:
Post a Comment