Bogor (ANTARA News) - Gula cair dari limbah kulit singkong buatan alumni IPB mulai dipasarkan dengan merk dagang Gucakusi Multi Agro, nilai penjualan dari produk yang dilakukan berkisar 400 botol per bulan dengan harga Rp12.500 per botol ukuran 250 mili liter.
"Permintaan pasar akan produk Gucakusi cukup besar, mulai untuk konsumsi pribadi, sampai untuk dijual kembali maupun kebutuhan industri makanan dan minuman," kata Abdul Aziz, alumni IPB yang mengembangkan Gucakuci Multi Agro, di Bogor, Rabu.
Menurut Azizi, jika dibandingkan dengan kompetitor produk yang sudah ada, Gucakusi memiliki keunggulan karena produk kompetitor dijual serharga Rp56 ribu dengan ukuran 500 ml, atau dua kali lebih mahal dari Gucakusi.
Ia mengatakan, Gucakusi Multi Agro menyasar konsumen semua kalangan baik penderita diabetes juga konsumen lain sebagai antisipasi untuk terhindar dari penyakit diabet. Selain itu juga para produsen makanan dan minuman kesehatan.
Produk Gucakusi yang dihasilkan memiliki banyak keunggulan dibanding produk serupa lainnya. Seperti, mengkonsumsi Gucakusi sama dengan menerapkan aspek ramah lingkungan karena mengurangi limbah singkong yang produksinya cukup tinggi di Indonesia.
"Keunggulan lainnya, gula yang dihasilkan dari kulit singkong ini adalah fruktosa atau gula buah, sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh. Dapat digunakan sebagai pengganti madu, gula pasir dan pemanis lain karena aman dikonsumsi," katanya.
Ia menjelaskan, kandungan kalori dari Gucakusi lebih rendah setelah melalui uji laboratorium melalui metode HPLC yakni sebesar 106 kkal/100 gram. Lebih rendah dari gula pasir yang mencapai 364 kkal/100 gram. Rasanya gulannya jika dikonsumsi langsung tidak menyebabkan serak dan membekas di mulut. Selain itu, tingkat kemanisan gula juga tidak kalah dengan gula pasir ketika diaplikasikan ke makanan maupun minuman.
Untuk harga lebih terjangkau jika menghintung manfaat yang didapat dari produk tersebut. Lebih mudah diaplikasikan pada makanan dan minuman yang panas atau dingin karena jenis gula cair lebih mudah larut.
"Gucakusi tidak mengandung bahan berbahaya bagi tubuh. Baik diaplikasikan untuk produk herbal, dan dengan mengkonsumsinya kita dapat membantu pembuatan produk lokal menuju global serta membuat sentra pengolahan singkong menuju pengurangan sampah industri," katanya.
Gucakusi merupakan inovasi yang dibuat oleh Abdul Aziz bersama tim saat menjadi mahasiswa tahun 2013 lalu. Karya tersebut berhasil meraih penghargaan internasional di acara Macau International Innovation and Inventatio Exhibition (MIIIE) 2015. Pada acara tersebut tim Gucakusi IPB meraih medali emas dan tiga penghargaan spesial.
Inovasi gula cair dari kulit singkong berawal dari hasil penelitian yang menyebutkan Indonesia merupakan salah satu dari lima negara penghasil singkong terbesar di dunia. Tingginya industri pengolahan singkong, maka demikian pula dengan limbahnya.
Limbah kulit singkong selama ini tidak dimanfaatkan karena minimnya pengetahuan. Namun, melalui tangan para mahasiswa IPB limbah tersebut diubah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
"Pemanfaatan kulit singkong sebagai bahan dasar menjadi alternatif pengganti gula selain gula kelapa. Gula cair dari kulit singkong cocok digunakan untuk diet karena kadungan kalorinya yang rendah," katanya.
Setelah lulus kuliah, Aziz bertekad mengembangkan Gucakusi menjadi industri penghasil produk pangan pengganti gula yang ramah lingkungan dan memilih lokasi produksi di Ciluar, Kabupaten Bogor. Lokasi tersebut merupakan salah satu sentra pengolahan singkong untuk pati di Indonesia. Terdapat sekitar 60 pabrik yang mengolah singkong paling sedikit dua ton per hari.
Aziz memulai usahanya memproduksi Gucakusi melalui program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan inkubasi yang dilakukan oleh Incubie Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB.
Menurutnya, dalam satu hari setiap satu pabrik singkong di wilayah Ciluar mengolah sedikitnya dua ton singkong, sehingga dalam satu hari saja saat semua pabrik berproduksi di desa ini mengolah sedikitnya 120 ton singkong untuk diambil patinya. Limbah kulit singkong yang dihasilkan yaitu sedikitnya sembilan persen dari total singkong.
Jika dalam sehari saja dengan 60 pabrik mengolah singkong 120 ton, lanjutnya, maka akan dihasilkan sembilan persen dari 120 ton, yaitu 10,8 ton kulit singkong setiap hari.
"Belum lagi limbah dari pabrik-pabrik pengolahan singkong lain yang tentu menghasilkan limbah juga. Jumlah sebanyak ini tentu akan terus bertambah setiap harinya jika tidak ada pengolahan lebih lanjut dari limbah tersebut," kata Aziz.
"Permintaan pasar akan produk Gucakusi cukup besar, mulai untuk konsumsi pribadi, sampai untuk dijual kembali maupun kebutuhan industri makanan dan minuman," kata Abdul Aziz, alumni IPB yang mengembangkan Gucakuci Multi Agro, di Bogor, Rabu.
Menurut Azizi, jika dibandingkan dengan kompetitor produk yang sudah ada, Gucakusi memiliki keunggulan karena produk kompetitor dijual serharga Rp56 ribu dengan ukuran 500 ml, atau dua kali lebih mahal dari Gucakusi.
Ia mengatakan, Gucakusi Multi Agro menyasar konsumen semua kalangan baik penderita diabetes juga konsumen lain sebagai antisipasi untuk terhindar dari penyakit diabet. Selain itu juga para produsen makanan dan minuman kesehatan.
Produk Gucakusi yang dihasilkan memiliki banyak keunggulan dibanding produk serupa lainnya. Seperti, mengkonsumsi Gucakusi sama dengan menerapkan aspek ramah lingkungan karena mengurangi limbah singkong yang produksinya cukup tinggi di Indonesia.
"Keunggulan lainnya, gula yang dihasilkan dari kulit singkong ini adalah fruktosa atau gula buah, sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh. Dapat digunakan sebagai pengganti madu, gula pasir dan pemanis lain karena aman dikonsumsi," katanya.
Ia menjelaskan, kandungan kalori dari Gucakusi lebih rendah setelah melalui uji laboratorium melalui metode HPLC yakni sebesar 106 kkal/100 gram. Lebih rendah dari gula pasir yang mencapai 364 kkal/100 gram. Rasanya gulannya jika dikonsumsi langsung tidak menyebabkan serak dan membekas di mulut. Selain itu, tingkat kemanisan gula juga tidak kalah dengan gula pasir ketika diaplikasikan ke makanan maupun minuman.
Untuk harga lebih terjangkau jika menghintung manfaat yang didapat dari produk tersebut. Lebih mudah diaplikasikan pada makanan dan minuman yang panas atau dingin karena jenis gula cair lebih mudah larut.
"Gucakusi tidak mengandung bahan berbahaya bagi tubuh. Baik diaplikasikan untuk produk herbal, dan dengan mengkonsumsinya kita dapat membantu pembuatan produk lokal menuju global serta membuat sentra pengolahan singkong menuju pengurangan sampah industri," katanya.
Gucakusi merupakan inovasi yang dibuat oleh Abdul Aziz bersama tim saat menjadi mahasiswa tahun 2013 lalu. Karya tersebut berhasil meraih penghargaan internasional di acara Macau International Innovation and Inventatio Exhibition (MIIIE) 2015. Pada acara tersebut tim Gucakusi IPB meraih medali emas dan tiga penghargaan spesial.
Inovasi gula cair dari kulit singkong berawal dari hasil penelitian yang menyebutkan Indonesia merupakan salah satu dari lima negara penghasil singkong terbesar di dunia. Tingginya industri pengolahan singkong, maka demikian pula dengan limbahnya.
Limbah kulit singkong selama ini tidak dimanfaatkan karena minimnya pengetahuan. Namun, melalui tangan para mahasiswa IPB limbah tersebut diubah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
"Pemanfaatan kulit singkong sebagai bahan dasar menjadi alternatif pengganti gula selain gula kelapa. Gula cair dari kulit singkong cocok digunakan untuk diet karena kadungan kalorinya yang rendah," katanya.
Setelah lulus kuliah, Aziz bertekad mengembangkan Gucakusi menjadi industri penghasil produk pangan pengganti gula yang ramah lingkungan dan memilih lokasi produksi di Ciluar, Kabupaten Bogor. Lokasi tersebut merupakan salah satu sentra pengolahan singkong untuk pati di Indonesia. Terdapat sekitar 60 pabrik yang mengolah singkong paling sedikit dua ton per hari.
Aziz memulai usahanya memproduksi Gucakusi melalui program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan inkubasi yang dilakukan oleh Incubie Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB.
Menurutnya, dalam satu hari setiap satu pabrik singkong di wilayah Ciluar mengolah sedikitnya dua ton singkong, sehingga dalam satu hari saja saat semua pabrik berproduksi di desa ini mengolah sedikitnya 120 ton singkong untuk diambil patinya. Limbah kulit singkong yang dihasilkan yaitu sedikitnya sembilan persen dari total singkong.
Jika dalam sehari saja dengan 60 pabrik mengolah singkong 120 ton, lanjutnya, maka akan dihasilkan sembilan persen dari 120 ton, yaitu 10,8 ton kulit singkong setiap hari.
"Belum lagi limbah dari pabrik-pabrik pengolahan singkong lain yang tentu menghasilkan limbah juga. Jumlah sebanyak ini tentu akan terus bertambah setiap harinya jika tidak ada pengolahan lebih lanjut dari limbah tersebut," kata Aziz.
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment