Luca Cada Lora dan Galih Ramadhan (rns/detikINET)
Dua siswa SMA Negeri 1 Surakarta, Solo ini punya ide memanfaatkan abu vulkanik sebagai alat penyaring limbah beracun. Luca memperhatikan, sehabis erupsi Gunung Kelud, air selokan di depan rumahnya sangat jernih.
Setelah diperhatikan, endapan abu vulkanik yang sangat banyaklah yang membuat air selokan yang sebelumnya kotor menjadi jernih. Luca kemudian mencari informasi di internet. Ternyata benar, ada sebuah penelitian yang menyatakan tanah dari abu vulkanik bisa menjadi penyaring limbah.
"Itu yang mendasari penelitian saya. Saya kemudian mencari tahu manfaat abu vulkanik untuk menyaring limbah industri logam berat, khususnya limbah chronium hexavalent untuk campuran logam stainless steel, ini jenis limbah berbahaya, bisa menyebabkan kanker," sebutnya.
Merasa kewalahan berkutat di laboratorium sendirian, di tengah jalan dia mengajak rekannya Galih Ramadhan yang punya satu ide untuk bergabung dengannya dalam penelitian ini.
Teknologi ini berupa mesin pompa air yang dipasangi pipa-pipa. Dijelaskan Luca, cara kerja teknologi temuannya ini adalah dengan menyedot limbah berbahaya dengan mesin pompa air.
Air limbah kemudian dialirkan ke tabung pertama yang diisi fiber. Serat fiber berfungsi menyaring limbah dengan partikel besar. Setelah melalui tabung pertama, air limbah dialirkan ke tabung kedua berisikan abu vulkanik.
"Abu vulkanik menyerap chronium hexavalent. Zat ini akan tersangkut atau tertahan di abu vulkanik. Dari situ, limbah yang keluar sudah tidak berbahaya sehingga aman dibuang," katanya.
Berkat proyek penelitian berjudul 'Packed VocASH: An Inorganic Nature of Heavy Metals Absorbent', Luca dan Galih memenangi hadiah USD 500 dari ajang Intel International Science and Engineering Fair (ISEF) 2015.
Sebagai pemenang, mereka diundang ke Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, untuk berbagi pengalaman dengan pelajar lain dari berbagai negara.
"Amerika lebih bagus dari Indonesia, tapi di Indonesia juga banyak hal yang lebih bagus dari Amerika. Makanannya lebih enak di Indonesia. Makanya bawa kecap dan sambel ke sana," kata Galih tersipu menceritakan pengalamannya.
Baik Luca maupun Galih berharap, hasil karya mereka nantinya bisa dipakai secara luas. Karena pada dasarnya, mereka ingin teknologi ini bisa bermanfaat bagi orang banyak. Tak berhenti di sini, dua pelajar penuh semangat ini mengaku ingin terus berkarya.
"Saya ke depannya ingin jadi scientist yang go to space," kata Luca.
"Kalau saya ingin buat foundation sendiri. Foundation yang bergerak di beberapa bidang, khususnya kan saya di bidang kesehatan," tambah Galih.
(rns/rou)
0 comments:
Post a Comment